JAKARTA - Penggusuran yang terjadi di Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Bekasi, mencuri perhatian publik setelah viral di media sosial. Langkah penggusuran oleh juru sita Pengadilan Negeri Cikarang ini memicu ketidakpuasan lantaran dilakukan meskipun sebagian warga memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah atas tanah dan bangunan mereka.
Ketika tim detikcom menyambangi lokasi, terdapat pemandangan yang kontras antara rumah-rumah yang masih utuh dan area yang telah kosong imbas penggusuran. Meski tidak diizinkan untuk mendalami seluruh area, tim mendapatkan izin untuk meninjau bagian depan dan samping dari cluster yang berlokasi strategis di jalan ramai tersebut.
Latar Belakang Transaksi Tanah: Dari Tahun 1967 hingga 2024
Sejarah tanah di Cluster Setia Mekar Residence 2 terentang panjang. Pada 1967, Djudju Saribanon Dolly adalah pemilik awal yang terdaftar dalam SHM nomor 325 di lahan seluas 3,6 hektare. Transaksi berikutnya tidak berjalan mulus. Abdul Hamid, yang membeli tanah tersebut, ternyata tidak melunasi pembayaran kepada penjual pertama.
Pada 1982, Kayat menjadi pembeli baru setelah ditemui oleh Bambang Heryanto, perantara yang ditunjuk oleh Abdul Hamid. Setelah melalui serangkaian transaksi rumit, SHM nomor 325 akhirnya dibalik nama menjadi atas nama Kayat pada 1985. Langkah selanjutnya, pada 1995, Kayat memecah sertifikat ini menjadi empat bidang terpisah.
Konflik Pemilik Baru dan Eksekusi Pengadilan
Pada 2019, Abdul Bari, perwakilan pengembang, membeli tanah dari Tunggul Paraloan Siagian dan memastikan keabsahan SHM nomor 705 seluas 3.290 meter persegi melalui pengecekan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi. "Sebelum saya beli, saya cek sertifikatnya. Artinya, sertifikat dalam keadaan clear and clean," ungkap Bari.
Namun, permasalahan hukum timbul ketika Pengadilan Negeri Cikarang memerintahkan eksekusi lahan pada SHM nomor 704, 705, 706, dan 707. Lahan tersebut dinyatakan sebagai milik Hj. Mimi Jamilah, putri Abdul Hamid, berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS.
Penjarahan dan Kondisi Warga Pasca-Penggusuran
Penggusuran yang dilakukan tidak hanya menimbulkan kerugian material tetapi juga menyisakan trauma bagi warga, sebagaimana diutarakan Ketua RT 8 Tambun Selatan, Ririn. Ia mengisahkan bagaimana rumah-rumah yang telah dikosongkan malah dijarah oleh para pencari rongsokan ketika listrik dan air dipadamkan.
"Jangan sampai barang-barang pada rusak... Bener kan, barang-barang pada rusak pada dijarah. Sama orang luar. Dari rongsokan. Dari luar lah," kata Ririn. Meski aksi pencurian sempat tertangkap basah, situasi tetap membuat warga merasa resah.
Dilema Pemilik Ruko dan Tindakan Hukum Lanjutan
Di tengah proses penggusuran, terdapat keraguan dan keberanian dari beberapa pihak. Salah satu contohnya adalah Direktur PT Java Nara Ichi Seiko, Nina, yang memilih bertahan lantaran yakin bahwa SHM yang dimilikinya sah. "Saya bertahan karena SHM... Saya dikasih waktu (untuk mempertimbangkan penawaran untuk membeli lahan)," katanya.
Bersamaan itu, ada pula catatan pilu dari pemilik ruko lain seperti Slamet yang terpaksa kehilangan aset berharganya. Slamet yang telah menjalankan bisnis furniture sejak tahun 90-an, merugi hingga Rp 100 juta akibat penggusuran. "Kalau dari material-material yang dibangun kita mungkin bisa (kerugian) sampai 100 juta," imbuhnya.
Tidak tinggal diam, warga dan pengembang Cluster Setia Mekar Residence 2 bersama beberapa pemilik ruko melayangkan gugatan balik terhadap keputusan pengadilan. Sidang perdana terkait gugatan tersebut dijadwalkan berlangsung pada berbagai tanggal, termasuk 10 dan 17 Februari 2025.
Melihat situasi yang berkembang ini, masyarakat luas menantikan bagaimana keadilan akan ditegakkan dalam sengketa lahan yang melibatkan berbagai pihak ini. Perspektif hukum mengenai hak kepemilikan dan validitas SHM menjadi perhatian penting dalam pengambilan keputusan selanjutnya.