JAKARTA - Di tengah meningkatnya permintaan layanan kesehatan dan naiknya biaya medis dalam beberapa tahun terakhir, pelaku industri asuransi tengah menunggu lahirnya aturan baru yang diyakini bakal membawa perubahan signifikan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang memfinalisasi Peraturan OJK (POJK) mengenai Ekosistem Asuransi Kesehatan, sebuah regulasi yang disusun untuk menjawab tantangan mendasar di sektor asuransi kesehatan, mulai dari tekanan rasio klaim hingga kebutuhan pembenahan tarif premi.
Berbeda dengan kebijakan parsial sebelumnya, POJK terbaru dirancang sebagai pendekatan ekosistem yang lebih holistik.
Regulasi ini mencakup penyesuaian tarif atau repricing premi, penetapan kembali masa tunggu (waiting period), pengaturan Coordination of Benefit (CoB) dengan BPJS, serta mekanisme risk sharing. Seluruh perangkat aturan tersebut ditargetkan mulai diimplementasikan pada 1 Januari 2026.
Dalam momentum penyusunan regulasi ini, para pemangku kepentingan industri memberikan respons beragam. Namun Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menjadi salah satu pihak yang menyambut baik aturan baru tersebut.
Mereka meyakini regulasi ini berpotensi memberikan dampak positif yang luas, baik bagi perusahaan asuransi, rumah sakit, maupun nasabah.
Ketua Bidang Kanal Distribusi dan Inklusi Tenaga Pemasar AAJI, Albertus Wiroyo, menjelaskan bahwa salah satu aturan krusial yakni CoB dan risk sharing sebesar 5% sangat diharapkan dapat menekan lonjakan rasio klaim kesehatan yang selama ini menjadi tantangan berat.
Menurutnya, rasio klaim yang tinggi bahkan sempat mendekati 90% akibat inflasi kesehatan yang melonjak hingga dua digit dalam beberapa periode terakhir.
“Adanya risk sharing dan Coordination of Benefit dengan BPJS itu sangat baik, sehingga dapat mengendalikan klaim kesehatan itu tidak berlebihan,” ungkapnya.
Inflasi Kesehatan dan Tekanan Klaim yang Mengguncang Industri
Selama beberapa tahun terakhir, industri asuransi kesehatan berada dalam tekanan besar akibat pertumbuhan biaya medis yang melaju cepat.
Inflasi kesehatan yang mencapai dua digit membuat perusahaan asuransi harus menanggung beban klaim yang jauh lebih besar dari ekspektasi, sehingga memengaruhi profitabilitas dan stabilitas operasional.
Tren kenaikan rasio klaim ini bukan hanya disebabkan oleh meningkatnya biaya perawatan, tetapi juga oleh pola penggunaan layanan kesehatan yang semakin intensif.
Dengan kondisi tersebut, perusahaan asuransi memerlukan kebijakan yang memberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif premi secara lebih tepat waktu dan sesuai profil risiko.
Inilah salah satu alasan mengapa AAJI memandang aturan mengenai repricing premi dalam POJK terbaru sebagai langkah strategis. Tanpa mekanisme penyesuaian premi yang memadai, perusahaan asuransi akan kesulitan menjaga tingkat kesehatan finansialnya.
Sebaliknya, dengan adanya regulasi baru, penetapan premi dapat dilakukan dengan lebih akurat, transparan, dan berbasis justifikasi aktuarial.
Albertus menilai bahwa keseluruhan kebijakan dalam POJK bukan hanya akan mengendalikan klaim, tetapi juga memperbaiki keseimbangan antara manfaat yang diberikan dan premi yang dibayarkan.
Menurutnya, aturan tersebut dapat menciptakan situasi yang menguntungkan semua pihak mulai dari perusahaan asuransi, nasabah, hingga tenaga medis.
“Ekosistem asuransi kesehatan akan makin sehat dan baik. Nasabah juga akan diuntungkan karena preminya terjangkau, treatment-nya sesuai dengan kebutuhan, serta rumah sakit dan dokter tetap bisa mendapatkan keuntungan dan melayani pasiennya dengan baik,” tuturnya.
Keseimbangan Baru antara Tarif, Perlindungan, dan Layanan
Selain menekankan pentingnya CoB dan risk sharing, Albertus juga melihat bahwa kehadiran POJK ini akan membantu industri dalam memitigasi risiko biaya kesehatan yang makin meningkat.
Regulasi yang lebih tegas dan rinci diharapkan dapat menciptakan batasan sekaligus ruang gerak yang jelas bagi perusahaan asuransi dalam mengelola risiko kesehatan yang terus berkembang.
Misalnya, adanya aturan mengenai waiting period akan memperjelas masa perlindungan awal dan mencegah moral hazard dari penggunaan manfaat secara langsung tanpa jeda.
Sementara itu, skema CoB dengan BPJS diharapkan dapat memastikan bahwa biaya perawatan terbagi lebih proporsional antara jaminan sosial dan asuransi komersial, sehingga tidak menumpuk pada salah satu pihak saja.
Dari sisi rumah sakit dan tenaga medis, aturan yang lebih jelas akan mendukung terciptanya tata kelola yang lebih adil dalam hal pembayaran layanan. Dengan demikian, penyedia layanan kesehatan tetap dapat menerima pembayaran sesuai standar, sementara perusahaan asuransi dapat menjaga efisiensi biaya.
Albertus menambahkan bahwa pada akhirnya perusahaan asuransi akan berada pada posisi yang lebih baik untuk menjual produk asuransi kesehatan dengan premi yang lebih terjangkau dan tetap memberikan nilai ekonomis bagi bisnis.
Potret Terbaru Asuransi Kesehatan: Menurun di Kumpulan, Naik di Perorangan
Berdasarkan data AAJI, per kuartal III-2025 total pembayaran klaim kesehatan mencapai Rp 19,35 triliun. Angka tersebut turun sekitar 7,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 20,91 triliun. Data ini menunjukkan adanya penyesuaian pada pola klaim, meski tekanan biaya medis masih tetap terasa.
Jumlah penerima manfaat asuransi kesehatan pada periode tersebut tercatat mencapai 3,19 juta orang. Rinciannya menunjukkan dinamika yang berbeda antara produk perorangan dan kumpulan.
Untuk klaim asuransi kesehatan perorangan, terjadi kenaikan tipis sebesar 1,9% secara tahunan (Year on Year) dengan nilai Rp 11,99 triliun. Manfaat tersebut diterima oleh sekitar 250 ribu orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebutuhan perlindungan kesehatan individu masih tetap tinggi.
Sementara itu, klaim asuransi kesehatan kumpulan justru turun tajam sebesar 19,5% YoY menjadi Rp 7,35 triliun dengan jumlah penerima manfaat mencapai 2,94 juta orang.
Penurunan klaim pada segmen kumpulan bisa menjadi indikasi bahwa perusahaan mulai melakukan penyesuaian atau efisiensi dalam pemberian manfaat kesehatan bagi karyawan.