JAKARTA - Presiden Joko Widodo meresmikan tiga proyek strategis penghiliran mineral yang menjadi tonggak penting bagi industri pertambangan nasional pekan ini. Proyek pertama adalah smelter tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) yang berlokasi di Manyar, Gresik, Jawa Timur, diikuti dengan peresmian smelter tembaga PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PTAMNT) di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada Senin (23/9). Hari ini, Selasa (24/9), smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) milik PT Aneka Tambang Tbk. (ANTAM) di Mempawah, Kalimantan Barat, juga diresmikan.
Peresmian tiga smelter ini menandai langkah penting dalam perjalanan panjang Indonesia menuju penghiliran mineral. Transformasi ini mengubah wajah sektor pertambangan dari yang sebelumnya hanya menghasilkan bijih mentah (ores) dan konsentrat, menjadi negara yang mampu memproduksi mineral yang telah diolah dan dimurnikan (refined). Langkah ini merupakan tonggak sejarah penting yang menunjukkan kesiapan Indonesia untuk menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dari kekayaan mineralnya sendiri, sebuah proses yang dikenal sebagai era penghiliran mineral.
Keberhasilan ini tidak datang dengan mudah. Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian dalam negeri, terutama untuk komoditas seperti nikel, tembaga, dan bauksit, adalah hasil dari perjalanan panjang dan menantang. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo berhasil mewujudkan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020, mengenai kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dalam negeri.
Jika melihat ke belakang, keinginan untuk meningkatkan nilai tambah mineral bukanlah hal baru. Bahkan, sejak era Orde Baru, pemerintah sudah menunjukkan komitmen kuat terhadap hal ini. Pada 1991, dalam Kontrak Karya PT Freeport Indonesia, perusahaan tersebut diwajibkan membangun fasilitas pemurnian tembaga sebagai bentuk kontribusi terhadap pengembangan industri hilir di Indonesia. Hasil dari komitmen itu adalah berdirinya PT Smelting di Gresik pada 1996, yang saat itu PTFI memegang saham 25%. Namun, ide penghiliran mineral sebenarnya sudah dirintis lebih awal oleh Presiden Soekarno, yang pada tahun 1963 membentuk Perdatam (Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan) di bawah pimpinan Chaerul Saleh.
Perjalanan panjang penghiliran mineral ini menunjukkan bahwa setiap pemimpin Indonesia memiliki visi yang sama dalam menerjemahkan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang menegaskan bahwa sumber daya alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, seluruh presiden dari masa ke masa telah memberikan kontribusi terhadap upaya mewujudkan visi tersebut.
Namun, apresiasi tidak hanya pantas diberikan kepada pemerintah. Peran pelaku usaha dalam merealisasikan pembangunan smelter juga sangat penting. Proses ini tidak mudah, terutama karena faktor keekonomian beberapa mineral strategis kerap menjadi kendala. Selain itu, perubahan kebijakan, dari sentralisasi ke desentralisasi, dan kembali lagi ke sentralisasi, serta dinamika rezim pemerintahan membuat ketidakpastian regulasi menjadi tantangan bagi para pelaku industri tambang untuk berinvestasi.
Kerja sama yang baik antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, termasuk media, dalam mengawal tata kelola pertambangan telah menghasilkan capaian positif. Pembangunan smelter-smelter ini menunjukkan bahwa kolaborasi yang solid mampu mewujudkan amanat Undang-Undang. Namun, keberhasilan ini baru merupakan awal dari babak baru yang menantang. Penghiliran mineral di Indonesia, yang menghasilkan produk setengah jadi atau "mid-stream", membutuhkan kesiapan industri domestik untuk menyerap produk tersebut dan menggerakkan industrialisasi lebih lanjut.
Tekad dari Presiden terpilih, pasangan Prabiwi-Gibran, untuk menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% dalam beberapa tahun ke depan akan sangat bergantung pada industrialisasi berbasis mineral. Dengan selesainya berbagai proyek penghiliran di sektor tembaga, bauksit, dan nikel, pembangunan industri dalam negeri yang berbasis pada sumber daya mineral menjadi sangat mendesak.
Dalam konteks ini, koordinasi antara kementerian terkait, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Investasi menjadi sangat penting. Kepemimpinan yang kuat juga diperlukan untuk memastikan pembangunan industri mineral domestik berjalan sesuai rencana.
Meski perusahaan pertambangan telah memenuhi kewajiban mereka untuk membangun fasilitas pemurnian, sebagian besar produk hasil pemurnian, terutama tembaga, masih diekspor. Situasi ini lebih menguntungkan negara-negara importir yang menikmati nilai tambah dari produk tersebut. Di sisi lain, industri pertambangan juga menghadapi tantangan besar dalam era transisi energi global, terutama terkait upaya mengurangi jejak karbon. Namun, di balik tantangan ini, ada peluang besar bagi mineral strategis yang dimiliki Indonesia, seperti tembaga, nikel, dan aluminium, yang permintaannya terus meningkat seiring dengan kebutuhan dunia untuk mencapai target netralitas karbon.
Permintaan terhadap mineral kritis meningkat tajam di era transisi energi ini. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), permintaan global akan mineral kritis tumbuh pesat karena dunia berupaya menekan pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius. Namun, pasokan mineral kritis saat ini belum mencukupi, dan investasi di sektor ini masih tergolong rendah.
Indonesia, dengan kekayaan mineral yang melimpah, memiliki posisi strategis untuk memenuhi kebutuhan pasar global. Namun, tantangan utama bagi pemerintah adalah memastikan regulasi yang mendukung dan menarik minat investor untuk melakukan eksplorasi mineral, khususnya mineral kritis. Diharapkan pemerintahan baru dapat menemukan solusi terbaik untuk mendorong investasi di sektor ini, sehingga potensi besar mineral strategis Indonesia bisa dimanfaatkan secara optimal.
Selain itu, kepastian usaha jangka panjang bagi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK-POK) sangatlah krusial. Dukungan pemerintah dalam memberikan kepastian regulasi diperlukan agar pelaku usaha bisa merencanakan investasi jangka panjang di tengah ketidakpastian global, baik dari sisi ekonomi maupun pendanaan.
Pada akhirnya, peresmian smelter tembaga milik PTFI, PTAMNT, serta smelter alumina milik ANTAM adalah momentum penting yang menandai babak baru dalam perjalanan panjang penghiliran mineral di Indonesia. Diharapkan, langkah ini akan memberikan kontribusi signifikan dalam mewujudkan visi Indonesia Maju pada tahun 2045, di mana penghiliran mineral akan menjadi salah satu fondasi utama bagi pertumbuhan industri dalam negeri.