JAKARTA — Harga minyak global ditutup hampir tanpa perubahan setelah mengalami fluktuasi yang cukup signifikan sepanjang sesi perdagangan. Ketidakstabilan ini didorong oleh meningkatnya ketegangan di kawasan Timur Tengah serta dampak dari penurunan suku bunga yang tajam oleh Federal Reserve.
Harga West Texas Intermediate (WTI) berakhir di bawah USD 72 per barel, sementara Brent berhasil bertahan di atas USD 74 per barel. Meski demikian, WTI mencatat kenaikan mingguan terbesar sejak Februari. Ketegangan di Timur Tengah diperburuk oleh serangan udara Israel yang menewaskan seorang komandan senior Hezbollah, Ibrahim Aqil, di pinggiran Beirut. Insiden ini meningkatkan kekhawatiran bahwa konflik dapat meluas hingga melibatkan Iran.
Rebecca Babin, seorang pedagang energi senior di CIBC Private Wealth, menjelaskan bahwa ketidakpastian harga minyak dipicu oleh banyak faktor yang saling bertentangan. "Kenaikan harga baru-baru ini didorong oleh penutupan posisi pendek dan meningkatnya risiko geopolitik, namun kekhawatiran terhadap prospek permintaan dari China serta keseimbangan pasokan di tahun 2025 masih menjadi bayang-bayang," ujar Babin dalam wawancara dengan Bloomberg pada Minggu (22/9).
Selain itu, kilang-kilang minyak di Amerika Serikat sedang mempersiapkan musim perawatan yang diprediksi paling ringan dalam tiga tahun terakhir. Hal ini memberikan sedikit kelegaan terkait kekhawatiran tentang berkurangnya cadangan minyak. Kilang-kilang tersebut diperkirakan akan menghentikan sekitar 829.000 barel kapasitas selama musim gugur.
Di sisi lain, Pemerintah AS meminta perusahaan asuransi pengiriman untuk memberikan informasi terkait perusahaan-perusahaan yang dicurigai melanggar sanksi terhadap minyak Rusia, sebagai bagian dari upaya mereka untuk membatasi ekspor energi dari Moskow.